Bayani Amri Putri Blog's

Bayani Amri Putri Blog's

Selasa, 15 April 2014

Cerpen : GALAU


Cerpen: Galau 

Tag : Romance, Sad, Teenager
By. Bayani Amri Putri STKIP MPL

Ahhh, dua kata yang pastinya bikin galau. Ya, jatuh cinta…
Tak banyak kisah yang akan ku bagikan kali ini. Hanya sebuah kisah sederhana yang belum pernah aku jalani dan sekarang aku lumayan nyaman dengan kehidupan itu walaupun sedikit risih dan terkadang masih belum sepenuhnya menikmatinya. Tapi, its okay semua berjalan lancar dan tak ada masalah.
Hai, namaku Atisha Salma Fadilla biasa di panggil Tisha atau Sasha. Aku adalah seorang putri tunggal dari kedua orang tua yang sempurna. Tak kekurangan satu apapun mungkin kurang saudara. Ya, namanya juga anak tunggal. Menjalani hidup dari kecil sampai dengan usia remaja tanpa punya seorang kakak atau adik benar-benar membuatku merasa kesepian. Walaupun kedua orangtuaku selalu memenuhi apa yang ku minta.
Menginjak masa SMA aku mulai membuka diri untuk dunia luar. Tahukah mengapa? Itu semua karena  sejak kecil sampai SMP aku selalu dalam pengawasan orangtua yang membuat merasa aku seperti di penjara saja. Bayangkan, sepuluh menit sebelum bell pulang berbunyi sudah ada yang menanti di depan gerbang. Alhasil, jangankan ke mall, sekedar minum es di warung pinggiran bersama-sama teman-teman juga tak pernah kesampaian. Sejak aku menginjak masa SMA kedua orangtuaku mulai sibuk degan bisnis konveksinya yang mulai berkembang pesat. Sehingga aku sering menghabiskan waktuku untuk berkumpul dengan teman-teman. Sekedar jajan-jajan kecil di kaki lima atau main ke mall buat sekedar action buat upload foto via facebook. Semakin aku sering pergi bersama teman-teman dan juga aktif dalam kegiatan keorganisasian maka tidak heran jika aku mulai punya banyak teman mulai dari yang kategori teman-teman yang berkacamata yaitu biasanya teman-teman dari komunitas pecinta buku atau biasa ketemu di perpustakaann, kemudian dari teman-teman aktif di organisasi, dan juga ekstrakurikuler seperti komunitas bahasa Asing, Badminton, Basket dan juga Buletin. Ya, aku jadi punya banyak teman, hampir dari type anak-anak aku punya teman yang seperti itu.
Dari semua teman-teman itu aku punya seorang teman special lebih tepatnya teman tapi mesra. Ya, itu karena aku masih belum boleh untuk pacaran. Dia merupakan ketua Ekstrakurikuler Seni Rupa. Namanya Dion, dia seorang seniman terhebat menurutku, karena karya-karyanya sungguh luar biasa. Dion lebih suka kepada seni lukis lebih spesfiknya seni gravity dan seni gambar tubuh, tattoo. Hampir setiap sabtu sore aku selalu menemaninya melukis gravity ke berbagai tempat. Melihatnya melukis dengan indah membuat terkagum-kagum, coretan-coretan cat yang sempurna.
Seperti biasa, sabtu sore tepat pukul 15.00 WIB lebih awal dari biasanya dia mengajakku ke suatu tempat untuk melukis katanya. Okelah, aku ikut saja. Ketika tiba di lokasi aku baru menyadari bahwa itu adalah tempat ia kos. Dia mengajakku masuk ke kamar kos nya. Ketika baru membuka pintu sedikit aku mengintip ke dalam. Terlihat kamar kos itu tak terlihat barang-barang, seperti lemari, kasur atau yang lainnya. Yang kulihat hanyalah tumpukan kardus berisi aneka ragam cat dan beberapa kuas serta alat-alat lukis lainnya. Aku masuk ke dalam sembari melihat-lihat sekitar yang belum sempat ku lihat. Dion mengambil kursi untuk aku duduk dan juga mengambil dua botol minuman soda dari dalam kulkas yang ada di belakang. Sambil menyodorkan minum aku sempat bertanya padanya.
“kenapa kamu bawa aku ke sini?”
“hmmm, emang kenapa? Gak suka kalo aku ngajak kamu main ke kosan aku. Gak aku apa-aain kali. Santai aja lah. Bawa enjoy aja” jawab dia santai.
Sebenarnya aku merasa senang karena dia membawaku ke tempat dia tinggal, setidaknya aku merupakan salah satu orang yang special bagi dia.
“ehmmm, truss, kita mau ngapain?”
“mau ngelukis donk”
“tapi, gak biasanya kamu ngelukis disini”
“ehmmm, karena ada yang special yang mau aku tunjukinn ke kamu”
“ahhh, gomballll”
“tunggu aja. Mending sekarang kamu duduk manis sambil temenin aku ngelukis gravity”
“baiklah, aku akan jadi patung patung maneqien disini”
Dia mulai mengambil pencil dan membuat pola-pola ringan di tembok bercat putih. Sekilas dari pola yang kulihat sepertinya dia akan menggambar sebuah objek hidup. Ini tak seperti biasanya, karena yang ku tahu dari seringnya aku temani dia melukis adalah dia lebih senang menggambar objek-objek abstrak. Tapi sudahlah, mungkin karena dia bilang special. Lima belas menit dia selesai membuat pola kemudian langsung mencampurkan beberapa warna dan mulai menggoreskan kuasnya. Karena saat itu aku hanya duduk dan tak ada yang bias aku lakukan maka hawa mengantuk mulai menyerang. Alhasil belum juga tiga puluh menit aku menemani dia melukis aku sudah tertidur pulas di kursi.
Dari dalam tidurku kudengar ada yang memanggil-manggil namaku.
“Tisha… tisha… tisha…. Ayo bangun!” suara seseorang yang kukenal. Benar saja, Dion membangunkanku.
Aku masih belum sepenuhnya sadar dari bangunku. Mataku masih sipit, sambil mengucek-kucek mata yang memang saat itu rasanya aku masih ingin melanjutkan tidur. Tapi kucoba untuk melebarkan mataku. Aku melihat Dion hanya dengan mengenakan kolor pendek Spiderman dan juga singlet putih yang sudah terciprat cat dan juga kulihat wajah dan sekujur tubuhnya tak luput dari coretan-coretan bekas cipratan cat.
“hai tuan putri, apakah tuan putri sudah bangun?” dengan nada mengejek.
Aku memang paling susah untuk bangun tidur, dengan gayanya yang mengejekku aku memukul nya.
“ahhhh,….”
“abisnya susah banget dibangunin, sebenarnya udah mau aku bangunin dari maghrib tadi tapi liat kamu tidur lelap banget jadi gak tega mau bangunin”
“maghrib? Ini jam berapa sekarang?” sembari aku tengak-tengok ke atas melihat jam dinding.
 Tapi ketika mataku sibuk menjadi jam dinding aku dikejutkan dengan hasil lukisannya. Terlihat sosok seorang perempuan yang duduk dan tertidur pulas. Tapi dari gambar itu sepertinya ini bukan pola yang kulihat tadi. Dan tanpa kusadari ternyata perempuan yang ada dalam lukisan itu adalah aku. Ya, benar sekali aku. Aku yang tertidur tadi.
“itu siapa? Rasanya seperti kenal?”
“ahhh, kamu tak mungkin mengenalnya. Dia tidak disini sekarang. Aku yakin kamu tidak tahu dia. Dia tinggal jauh”
“maksud kamu? Dia bukan aku” tanyaku kepedeean”
“kamu? Mana mungkin. Lihat saja, wajahnya lebih cantik, kulitnya pasti lebih halus dan matanya lebih indah”
“sudahlah, aku mau pulang! Sudah malam kan?” kataku sambil menahan r           asa malu jika memang benar kalo dilukisan itu ternyata bukan diriku.
“kamu yakin nggak mau tahu siapa dia? Tinggal dimana dan seberapa special dia di hatiku. Bukankah kamu adalah sahabat dekat yang siap untuk mendengarkan curhatku” jawabnya meyakinkanku.
“tapi ini sudah malam. Lanjutkan saja besok atau kamu cari sahabat lain yang mendengarkan curhatmu. Aku bukan dokter cinta yang bisa dimintai saran atau sekedar konsultasi seputar cinta cinta dan cinta” jawabku dengan nada sedikit culas..
“dia tinggalnya jauh di dalam lubuk hatiku. Dia orang yang paling special dalam hidupku. Dia adalah orang yang kucintai saat ini dan saat nanti. Dia adalah orang yang selalu menemani setiap laraku. Dan dia adalah satu-satunya wanita yang mampu menakhlukan hatiku yang beku sekian lama. Dan dia adalah orang yang ada di depan saat ini aku berpijak” ungkapnya tegas.
Rasanya waktu aku seperti kehilangan kesadaranku. Aku diam, tak ada satu pun kata yang mampu ku ucap saat itu. Hatiku bergetar hebat, seakan darah tak mengalir, jantung berhenti berdetak dan waktu seakan berhenti. Tak lama kemudian ada butir-butir air mata mulai menjatuhkan diri ke pipi. Tanpa mengedipkan mata, buitran-butiran itu semakin deras sampai tak sadar jika ada sentuhan tangan halus yang mengusap pipiku.
“hey, are you okay?”
Tak langsung basa-basi, langsung aku memeluknya erat. Dia pun membalasnya dengan mendekap hangat tubuhku sambil membelai rambutku. Aku menangis semakin kencang hingga tak kusadari singlet yang dipakainya pun basah akan airmataku. Entah apa yang aku rasakan saat itu, bahagia, shock, terharu dlll. Semua menjadi satu yang tak terungkapkan oleh kata-kata.
“would you be my girlfriend from now and until the end?”
Kalimat itu seakan menjadi mantra terdasyat. Mulutku tetap terbungkam dan suara sesunggukan juga masih terdengar. Tapi kucoba dan kuberanikan diriku untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi lagi-lagi aku masih belum sanggup untuk mengatakan sesuatu. Kutatap matanya tajam, terlihat bayang-bayang karena mataku masih dipenuhi bulir-bulir airmata. Dia mengapus air mataku dan dengan yakin aku menganggukkan kepalaku berulang kali dan langsung memeluknya kembali.
“thanks god!” dua kata yang terucap dari mulutnya
###
Sejak peristiwa itu aku resmi berpacaran dengan Dion. Saat itu kita sama-sama berada di kelas tiga dan tak sampai tiga bulan lagi kita sudah lulus. Hari kelulusan pun datang. Seperti tradisi yang sudah-sudah, coret-coret seragam putih abu-abu. Yaaa, kami sudah lulus. Dan siap untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Tapi, ini justru masa tergalau buatku. Karena ternyata Ayah Bunda menyuruhku untuk meneruskan study ke luar kota yaitu di Bandung. Aku benar-benar galau dengan semua itu. Di satu sisi aku ingin mengejar cita-citaku dan juga membahagiakan kedua orangtuaku yang notabene aku adalah putri tunggal mereka tapi di satu sisi aku juga harus meninggalkan cintaku, Dion. Ini begitu membingungkan. Jika harus meneruskan study ke bandung maka aku akan jadi anak kos atau tinggal bersama tanteku yang ada disna. Hidup tanpa ayah Bunda dan pastinya tanpa Dion. Aku harus benar-benar hidup sendiri. Tapi, jika aku tetap bertahan bagaimana dengan cita-citaku menjadi seorang designer terkenal dan juga harapan yang digantungkan kepadaku oleh kedua orangtuaku. Ini semua membuatku bimbang, dilemma dan galau pastinya.
Kamis siang setelah hari senin lalu acara perpisahan di laksanakan, ku beranikan diriku mengunjungi Dion di tempat kos-nya. Aku ingin berbagi kegalauan yang ku rasakan kepadanya. Aku ketuk pintu kamarnya dan seorang pria yang memenangkan hatiku muncul dengan semyum sumringah karena terkejut akan kedatanganku.
Ku awali permbicaraanku dengan obrolan basa-basi sebagai pembuka pembicaraan yang sebenarnya.
“hmmmmm, bagaimana denganmu? Kemana kau akan melanjutkan study mu?” tanyaku basa-basi.
“study? Buat apa? Yang di dapat hanya sebuah gelar yang gak penting. Dan aku gak tahu mau di kemanakan itu ijazah nantinya” jawabnya sepele.
“tapi setidaknya kamu bisa ambil bagian design seni arsitek atau juga bidang-bidang seni lainnya” jawaku menyakinkan.
“ada apa denganmu? Tidak biasanya kamu tidak menghargai keputusanku. Aku sudah putuskan ini sejak lama. Jadi, jangan khawatirkan aku. Aku bias hidup tanpa harus hidup dengan gelar-gelar rendahan seperti itu”jawabnya.
“tapi setidaknya dengan gelar yang kau dapat, hidupmu akan jauh lebih baik lagi dari sekarang dan juga dengan ……” kataku terpotong.
“sudah cukup, aku tahu maksudmu datang kemari. Jika itu memang tujuanmu lebih baik pulang saja. Itu sudah menjadi keputusanku dan kuharap kamu mengerti akan keputusanku itu. Mengerti?” dengan nada sedikit membentak.
Mendengar kata-katanya aku benar-benar tak yakin jika yang berada di depanku saat ini adalah Dion. Orang yang ku cintai. Aku seperti melihat orang lain dalam dirinya, sama sekali bukan dia. Aku shock ketika mendengar kata-kata yang menurutku sedikit membentak dengan nada agak tinggi. Dan saat itu Dion menjawab pertanyaanku sembari menghisap rokok. Benar-benar bukan dion yang ku kenal. Dion yang ku tahu tidakkenal dengan barag yang namanya rokok. Karena saat itu aku merasa hatiku sedikit tersakiti oleh kata-kaanya. Tak menunggu lama, langsung saja ku ambil tasku dan aku bergegas pergi tanpa meninggalkan sepatah katapun, dan berlari secepatnya. Dion sama sekali tak mengejarku ataupun menahanku untuk tetap tinggal.  Hari itu adalah hari paling menyakitkan semenjak aku menjalin hubungan dengannya. Padahal, maksud kedatanganku saat itu adalah ingin berbagi kegalauan dan juga sekaligus memberi ucapan selamat tinggal. Tapi apalah daya. Satu minggu handphoneku tak ada satupun pesan ataupun miscall dari Dion. Ini membuatku semakin yakin akan keputusanku pergi. Hari itu adalah hari senin dan pada hari rabu aku harus sudah berangkat ke Bandung. Hari-hari terakhirku semakin galau, bagaimana tidak. Tak kurang dari tiga puluh jam lagi aku akan meninggalkan kota ini, kota penuh kenangan antara aku dan Dion tapi tanda-tanda Dion akan menghubungiku atau mengunjungiku tak ada. Untuk mengatasi kegalauanku kuputuskan untuk pergi keluar, berjalan-jalan sebentar menikmati kota yang akan kutingggalan untuk beberapa waktu.
Aku pergi ke taman kota, aku duduk di bawah pepohonan rindang. Tidak lupa ku pasang hadphone di telingaku sembari mendengarkan lagu-lagu kenanganku dan Dion. Tak sadar dalam lamunanku terbesit pertanyaan-pertanyaan.
Sebenarnya, bagaimana dengan hubungan ini. Mengapa dia tak jua menemuiku atau sekedar bertanya bagaimana keadaanku. Apakah dia sudah tak mencintaiku lagi atau dia sudah punya wanita special lain dihatinya. Entahlah, pertanyaan-pertanyaan itu semakin membuatku gila. Kupejamkan mataku dan kusandarkan tubuhku pada kusri taman. Sedang asyik-asyiknya mendengarkan music, tiba-tiba ku sadari ada sesorang yang menghampiriku. Duduk di sebelahku dan mencoba mendekatiku. Belum sempat untuk membuka mata melihat siapa dia, sebuah ciuman mendarat di keningku. Karena terkejut aku mendorong tubuh seseorang itu. Dan ternyata dia adalah Dion. Orang yang menghilang selama beberapa minggu terakhir… orang yang membuatku hampir gila, orang yang membuatku hampir kehilangan akal sehatku dan tentunya orang yang hampir membuatku frustasi.
“Maaf” satu kata yang terucap dari mulutnya.
“untuk?” jawabku pura-pura tak mengerti maksudnya.
“mungkin aku terlalu egois sehingga aku juga tak memikirkan perasaanmu. Maaf untuk semua itu. Sedikitpun tak terbesit dalam fikirku untuk membuatmu terluka atau tersakiti atas sikapku kemarin ”
Aku diam. Bukan karena aku masih marah akan sikapnya tapi karena aku bingung dengan apa yang akan aku jawab.
“apa kamu masih marah?” Tanya Dion lagi.
Aku menggeleng dengan kepala masih menunduk. Dion meraih daguku dan mengarahkan wajahku ke hadapannya. Matanya menatapku tajam, seolah tak memberiku kesempatan untuk bernafas. Tubuhku gemetaran, bingung, mataku berkaca-kaca. Mengisyaratkan bahwa aku juga memang masih mencintainya dan aku juga belum sanggup jika harus berpisah.
Di tengah kegalauanku saat itu, Dion memberanikan diri menggenggam tanganku erat. Memeluk tubuhku hangat sambil membelai rambutku. Dion mencoba untuk meyakinku kembali akan perasaannya. Aku yang masih bingung dan bimbang saat itu hanya diam dan menikmati setiap perlakuan Dion padaku.
“apa yang akan kau janjikan padaku jika kamu masih ingin bersamaku/”
“janji? Janjiku hanya satu. Mencintaimu dengan sepenuh hatiku dan untuk selamanya” jawabnya dengan nada sedikit gombal.
Mendengar jawabannya, jujur bukan air mata yang ingin membrontak keluar tapi justru tawa-tawa kecil karena geli mendengar dia menggombal.
Tiba-tiba, dalam suasana yang masih indah itu, Dion memberikan sebuah surat. Ku perhatikan surat itu dengan seksama. Kulihat ujung tangannya, seperti tak ada keraguan di hatinya untuk memberikan itu. Ku ambil pelan, dan ku tarik nafasku perlahan. Penasaran dengan isinya, langsung saja ku baca. Mataku langsung tertuju langsung pada kata “Dion Wardana Adiputera” dan “LULUS”. Air mataku tak sanggup menahan perasaan yang saat ini ku rasakan. Ternyata tima minggu terakhir, Dion berjuang untuk ikut seleksi Mandiri di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Dan dia berhasil masuk di jurusan Art & Design.
“What do you think?” satu pertanyaan yang keluar dari mulutnya.
“Are you kidding me?” aku justru berbalik tanya.
“No, it’s real. Just for you. I love you”
“I love yoo, too” jawabku singkat.
            Hari itu adalah hari yang paling indah dari seluruh hari. Akhirnya kami pun sama-sama berangkat ke Bandung untuk meneruskan study dan tentunya untuk meneruskan kisah cinta kita yang sejati.
-----------------------------------end…………..

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar