Cerpen: Galau
Tag : Romance, Sad, Teenager
By. Bayani Amri Putri STKIP MPL
Ahhh, dua kata yang
pastinya bikin galau. Ya, jatuh cinta…
Tak banyak kisah yang akan
ku bagikan kali ini. Hanya sebuah kisah sederhana yang belum pernah aku jalani
dan sekarang aku lumayan nyaman dengan kehidupan itu walaupun sedikit risih dan
terkadang masih belum sepenuhnya menikmatinya. Tapi, its okay semua berjalan lancar dan tak ada masalah.
Hai, namaku Atisha Salma
Fadilla biasa di panggil Tisha atau Sasha. Aku adalah seorang putri tunggal dari
kedua orang tua yang sempurna. Tak kekurangan satu apapun mungkin kurang
saudara. Ya, namanya juga anak tunggal. Menjalani hidup dari kecil sampai
dengan usia remaja tanpa punya seorang kakak atau adik benar-benar membuatku
merasa kesepian. Walaupun kedua orangtuaku selalu memenuhi apa yang ku minta.
Menginjak masa SMA aku
mulai membuka diri untuk dunia luar. Tahukah mengapa? Itu semua karena sejak kecil sampai SMP aku selalu dalam
pengawasan orangtua yang membuat merasa aku seperti di penjara saja. Bayangkan,
sepuluh menit sebelum bell pulang berbunyi sudah ada yang menanti di depan
gerbang. Alhasil, jangankan ke mall, sekedar minum es di warung pinggiran
bersama-sama teman-teman juga tak pernah kesampaian. Sejak aku menginjak masa
SMA kedua orangtuaku mulai sibuk degan bisnis konveksinya yang mulai berkembang
pesat. Sehingga aku sering menghabiskan waktuku untuk berkumpul dengan
teman-teman. Sekedar jajan-jajan kecil di kaki lima atau main ke mall buat
sekedar action buat upload foto via facebook. Semakin aku sering pergi bersama teman-teman dan juga
aktif dalam kegiatan keorganisasian maka tidak heran jika aku mulai punya
banyak teman mulai dari yang kategori teman-teman yang berkacamata yaitu
biasanya teman-teman dari komunitas pecinta buku atau biasa ketemu di
perpustakaann, kemudian dari teman-teman aktif di organisasi, dan juga
ekstrakurikuler seperti komunitas bahasa Asing, Badminton, Basket dan juga
Buletin. Ya, aku jadi punya banyak teman, hampir dari type anak-anak aku punya
teman yang seperti itu.
Dari semua teman-teman itu
aku punya seorang teman special lebih tepatnya teman tapi mesra. Ya, itu karena
aku masih belum boleh untuk pacaran. Dia merupakan ketua Ekstrakurikuler Seni
Rupa. Namanya Dion, dia seorang seniman terhebat menurutku, karena
karya-karyanya sungguh luar biasa. Dion lebih suka kepada seni lukis lebih
spesfiknya seni gravity dan seni gambar tubuh, tattoo. Hampir setiap sabtu sore aku selalu menemaninya melukis
gravity ke berbagai tempat. Melihatnya melukis dengan indah membuat terkagum-kagum,
coretan-coretan cat yang sempurna.
Seperti biasa, sabtu sore
tepat pukul 15.00 WIB lebih awal dari biasanya dia mengajakku ke suatu tempat
untuk melukis katanya. Okelah, aku ikut saja. Ketika tiba di lokasi aku baru
menyadari bahwa itu adalah tempat ia kos. Dia mengajakku masuk ke kamar kos
nya. Ketika baru membuka pintu sedikit aku mengintip ke dalam. Terlihat kamar
kos itu tak terlihat barang-barang, seperti lemari, kasur atau yang lainnya.
Yang kulihat hanyalah tumpukan kardus berisi aneka ragam cat dan beberapa kuas
serta alat-alat lukis lainnya. Aku masuk ke dalam sembari melihat-lihat sekitar
yang belum sempat ku lihat. Dion mengambil kursi untuk aku duduk dan juga
mengambil dua botol minuman soda dari dalam kulkas yang ada di belakang. Sambil
menyodorkan minum aku sempat bertanya padanya.
“kenapa kamu bawa aku ke
sini?”
“hmmm, emang kenapa? Gak
suka kalo aku ngajak kamu main ke kosan aku. Gak aku apa-aain kali. Santai aja
lah. Bawa enjoy aja” jawab dia santai.
Sebenarnya aku merasa senang
karena dia membawaku ke tempat dia tinggal, setidaknya aku merupakan salah satu
orang yang special bagi dia.
“ehmmm, truss, kita mau
ngapain?”
“mau ngelukis donk”
“tapi, gak biasanya kamu
ngelukis disini”
“ehmmm, karena ada yang
special yang mau aku tunjukinn ke kamu”
“ahhh, gomballll”
“tunggu aja. Mending
sekarang kamu duduk manis sambil temenin aku ngelukis gravity”
“baiklah, aku akan jadi
patung patung maneqien disini”
Dia mulai mengambil pencil
dan membuat pola-pola ringan di tembok bercat putih. Sekilas dari pola yang
kulihat sepertinya dia akan menggambar sebuah objek hidup. Ini tak seperti
biasanya, karena yang ku tahu dari seringnya aku temani dia melukis adalah dia
lebih senang menggambar objek-objek abstrak. Tapi sudahlah, mungkin karena dia bilang
special. Lima belas menit dia selesai membuat pola kemudian langsung
mencampurkan beberapa warna dan mulai menggoreskan kuasnya. Karena saat itu aku
hanya duduk dan tak ada yang bias aku lakukan maka hawa mengantuk mulai
menyerang. Alhasil belum juga tiga puluh menit aku menemani dia melukis aku
sudah tertidur pulas di kursi.
Dari dalam tidurku kudengar
ada yang memanggil-manggil namaku.
“Tisha… tisha… tisha…. Ayo
bangun!” suara seseorang yang kukenal. Benar saja, Dion membangunkanku.
Aku masih belum sepenuhnya
sadar dari bangunku. Mataku masih sipit, sambil mengucek-kucek mata yang memang
saat itu rasanya aku masih ingin melanjutkan tidur. Tapi kucoba untuk
melebarkan mataku. Aku melihat Dion hanya dengan mengenakan kolor pendek
Spiderman dan juga singlet putih yang sudah terciprat cat dan juga kulihat
wajah dan sekujur tubuhnya tak luput dari coretan-coretan bekas cipratan cat.
“hai tuan putri, apakah
tuan putri sudah bangun?” dengan nada mengejek.
Aku memang paling susah
untuk bangun tidur, dengan gayanya yang mengejekku aku memukul nya.
“ahhhh,….”
“abisnya susah banget
dibangunin, sebenarnya udah mau aku bangunin dari maghrib tadi tapi liat kamu
tidur lelap banget jadi gak tega mau bangunin”
“maghrib? Ini jam berapa
sekarang?” sembari aku tengak-tengok ke atas melihat jam dinding.
Tapi ketika mataku sibuk menjadi jam dinding
aku dikejutkan dengan hasil lukisannya. Terlihat sosok seorang perempuan yang
duduk dan tertidur pulas. Tapi dari gambar itu sepertinya ini bukan pola yang
kulihat tadi. Dan tanpa kusadari ternyata perempuan yang ada dalam lukisan itu
adalah aku. Ya, benar sekali aku. Aku yang tertidur tadi.
“itu siapa? Rasanya seperti
kenal?”
“ahhh, kamu tak mungkin
mengenalnya. Dia tidak disini sekarang. Aku yakin kamu tidak tahu dia. Dia tinggal
jauh”
“maksud kamu? Dia bukan
aku” tanyaku kepedeean”
“kamu? Mana mungkin. Lihat
saja, wajahnya lebih cantik, kulitnya pasti lebih halus dan matanya lebih
indah”
“sudahlah, aku mau pulang!
Sudah malam kan?” kataku sambil menahan r asa
malu jika memang benar kalo dilukisan itu ternyata bukan diriku.
“kamu yakin nggak mau tahu
siapa dia? Tinggal dimana dan seberapa special dia di hatiku. Bukankah kamu
adalah sahabat dekat yang siap untuk mendengarkan curhatku” jawabnya
meyakinkanku.
“tapi ini sudah malam.
Lanjutkan saja besok atau kamu cari sahabat lain yang mendengarkan curhatmu.
Aku bukan dokter cinta yang bisa dimintai saran atau sekedar konsultasi seputar
cinta cinta dan cinta” jawabku dengan nada sedikit culas..
“dia tinggalnya jauh di
dalam lubuk hatiku. Dia orang yang paling special dalam hidupku. Dia adalah
orang yang kucintai saat ini dan saat nanti. Dia adalah orang yang selalu
menemani setiap laraku. Dan dia adalah satu-satunya wanita yang mampu
menakhlukan hatiku yang beku sekian lama. Dan dia adalah orang yang ada di
depan saat ini aku berpijak” ungkapnya tegas.
Rasanya waktu aku seperti
kehilangan kesadaranku. Aku diam, tak ada satu pun kata yang mampu ku ucap saat
itu. Hatiku bergetar hebat, seakan darah tak mengalir, jantung berhenti berdetak
dan waktu seakan berhenti. Tak lama kemudian ada butir-butir air mata mulai menjatuhkan
diri ke pipi. Tanpa mengedipkan mata, buitran-butiran itu semakin deras sampai
tak sadar jika ada sentuhan tangan halus yang mengusap pipiku.
“hey, are you okay?”
Tak langsung basa-basi,
langsung aku memeluknya erat. Dia pun membalasnya dengan mendekap hangat tubuhku
sambil membelai rambutku. Aku menangis semakin kencang hingga tak kusadari
singlet yang dipakainya pun basah akan airmataku. Entah apa yang aku rasakan
saat itu, bahagia, shock, terharu dlll. Semua menjadi satu yang tak terungkapkan
oleh kata-kata.
“would
you be my girlfriend from now and until the end?”
Kalimat itu seakan menjadi
mantra terdasyat. Mulutku tetap terbungkam dan suara sesunggukan juga masih
terdengar. Tapi kucoba dan kuberanikan diriku untuk menjawab pertanyaan itu.
Tapi lagi-lagi aku masih belum sanggup untuk mengatakan sesuatu. Kutatap
matanya tajam, terlihat bayang-bayang karena mataku masih dipenuhi bulir-bulir
airmata. Dia mengapus air mataku dan dengan yakin aku menganggukkan kepalaku
berulang kali dan langsung memeluknya kembali.
“thanks god!” dua kata yang
terucap dari mulutnya
###
Sejak peristiwa itu aku
resmi berpacaran dengan Dion. Saat itu kita sama-sama berada di kelas tiga dan tak
sampai tiga bulan lagi kita sudah lulus. Hari kelulusan pun datang. Seperti
tradisi yang sudah-sudah, coret-coret seragam putih abu-abu. Yaaa, kami sudah
lulus. Dan siap untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Tapi, ini justru masa tergalau
buatku. Karena ternyata Ayah Bunda menyuruhku untuk meneruskan study ke luar
kota yaitu di Bandung. Aku benar-benar galau dengan semua itu. Di satu sisi aku
ingin mengejar cita-citaku dan juga membahagiakan kedua orangtuaku yang
notabene aku adalah putri tunggal mereka tapi di satu sisi aku juga harus
meninggalkan cintaku, Dion. Ini begitu membingungkan. Jika harus meneruskan
study ke bandung maka aku akan jadi anak kos atau tinggal bersama tanteku yang
ada disna. Hidup tanpa ayah Bunda dan pastinya tanpa Dion. Aku harus
benar-benar hidup sendiri. Tapi, jika aku tetap bertahan bagaimana dengan
cita-citaku menjadi seorang designer terkenal dan juga harapan yang
digantungkan kepadaku oleh kedua orangtuaku. Ini semua membuatku bimbang,
dilemma dan galau pastinya.
Kamis siang setelah hari
senin lalu acara perpisahan di laksanakan, ku beranikan diriku mengunjungi Dion
di tempat kos-nya. Aku ingin berbagi kegalauan yang ku rasakan kepadanya. Aku
ketuk pintu kamarnya dan seorang pria yang memenangkan hatiku muncul dengan semyum
sumringah karena terkejut akan kedatanganku.
Ku awali permbicaraanku
dengan obrolan basa-basi sebagai pembuka pembicaraan yang sebenarnya.
“hmmmmm, bagaimana
denganmu? Kemana kau akan melanjutkan study mu?” tanyaku basa-basi.
“study? Buat apa? Yang di
dapat hanya sebuah gelar yang gak penting. Dan aku gak tahu mau di kemanakan
itu ijazah nantinya” jawabnya sepele.
“tapi setidaknya kamu bisa
ambil bagian design seni arsitek atau juga bidang-bidang seni lainnya” jawaku
menyakinkan.
“ada apa denganmu? Tidak
biasanya kamu tidak menghargai keputusanku. Aku sudah putuskan ini sejak lama.
Jadi, jangan khawatirkan aku. Aku bias hidup tanpa harus hidup dengan
gelar-gelar rendahan seperti itu”jawabnya.
“tapi setidaknya dengan
gelar yang kau dapat, hidupmu akan jauh lebih baik lagi dari sekarang dan juga
dengan ……” kataku terpotong.
“sudah cukup, aku tahu
maksudmu datang kemari. Jika itu memang tujuanmu lebih baik pulang saja. Itu
sudah menjadi keputusanku dan kuharap kamu mengerti akan keputusanku itu.
Mengerti?” dengan nada sedikit membentak.
Mendengar kata-katanya aku
benar-benar tak yakin jika yang berada di depanku saat ini adalah Dion. Orang
yang ku cintai. Aku seperti melihat orang lain dalam dirinya, sama sekali bukan
dia. Aku shock ketika mendengar kata-kata
yang menurutku sedikit membentak dengan nada agak tinggi. Dan saat itu Dion
menjawab pertanyaanku sembari menghisap rokok. Benar-benar bukan dion yang ku
kenal. Dion yang ku tahu tidakkenal dengan barag yang namanya rokok. Karena
saat itu aku merasa hatiku sedikit tersakiti oleh kata-kaanya. Tak menunggu
lama, langsung saja ku ambil tasku dan aku bergegas pergi tanpa meninggalkan
sepatah katapun, dan berlari secepatnya. Dion sama sekali tak mengejarku
ataupun menahanku untuk tetap tinggal.
Hari itu adalah hari paling menyakitkan semenjak aku menjalin hubungan
dengannya. Padahal, maksud kedatanganku saat itu adalah ingin berbagi kegalauan
dan juga sekaligus memberi ucapan selamat tinggal. Tapi apalah daya. Satu
minggu handphoneku tak ada satupun pesan ataupun miscall dari Dion. Ini membuatku semakin yakin akan keputusanku
pergi. Hari itu adalah hari senin dan pada hari rabu aku harus sudah berangkat
ke Bandung. Hari-hari terakhirku semakin galau, bagaimana tidak. Tak kurang
dari tiga puluh jam lagi aku akan meninggalkan kota ini, kota penuh kenangan
antara aku dan Dion tapi tanda-tanda Dion akan menghubungiku atau mengunjungiku
tak ada. Untuk mengatasi kegalauanku kuputuskan untuk pergi keluar,
berjalan-jalan sebentar menikmati kota yang akan kutingggalan untuk beberapa
waktu.
Aku pergi ke taman kota,
aku duduk di bawah pepohonan rindang. Tidak lupa ku pasang hadphone di
telingaku sembari mendengarkan lagu-lagu kenanganku dan Dion. Tak sadar dalam
lamunanku terbesit pertanyaan-pertanyaan.
Sebenarnya, bagaimana
dengan hubungan ini. Mengapa dia tak jua menemuiku atau sekedar bertanya
bagaimana keadaanku. Apakah dia sudah tak mencintaiku lagi atau dia sudah punya
wanita special lain dihatinya. Entahlah, pertanyaan-pertanyaan itu semakin membuatku
gila. Kupejamkan mataku dan kusandarkan tubuhku pada kusri taman. Sedang
asyik-asyiknya mendengarkan music, tiba-tiba ku sadari ada sesorang yang
menghampiriku. Duduk di sebelahku dan mencoba mendekatiku. Belum sempat untuk
membuka mata melihat siapa dia, sebuah ciuman mendarat di keningku. Karena
terkejut aku mendorong tubuh seseorang itu. Dan ternyata dia adalah Dion. Orang
yang menghilang selama beberapa minggu terakhir… orang yang membuatku hampir
gila, orang yang membuatku hampir kehilangan akal sehatku dan tentunya orang
yang hampir membuatku frustasi.
“Maaf” satu kata yang
terucap dari mulutnya.
“untuk?” jawabku pura-pura
tak mengerti maksudnya.
“mungkin aku terlalu egois
sehingga aku juga tak memikirkan perasaanmu. Maaf untuk semua itu. Sedikitpun
tak terbesit dalam fikirku untuk membuatmu terluka atau tersakiti atas sikapku
kemarin ”
Aku diam. Bukan karena aku
masih marah akan sikapnya tapi karena aku bingung dengan apa yang akan aku
jawab.
“apa kamu masih marah?”
Tanya Dion lagi.
Aku
menggeleng dengan kepala masih menunduk. Dion meraih daguku dan mengarahkan
wajahku ke hadapannya. Matanya menatapku tajam, seolah tak memberiku kesempatan
untuk bernafas. Tubuhku gemetaran, bingung, mataku berkaca-kaca. Mengisyaratkan
bahwa aku juga memang masih mencintainya dan aku juga belum sanggup jika harus
berpisah.
Di
tengah kegalauanku saat itu, Dion memberanikan diri menggenggam tanganku erat.
Memeluk tubuhku hangat sambil membelai rambutku. Dion mencoba untuk meyakinku
kembali akan perasaannya. Aku yang masih bingung dan bimbang saat itu hanya
diam dan menikmati setiap perlakuan Dion padaku.
“apa
yang akan kau janjikan padaku jika kamu masih ingin bersamaku/”
“janji?
Janjiku hanya satu. Mencintaimu dengan sepenuh hatiku dan untuk selamanya”
jawabnya dengan nada sedikit gombal.
Mendengar
jawabannya, jujur bukan air mata yang ingin membrontak keluar tapi justru
tawa-tawa kecil karena geli mendengar dia menggombal.
Tiba-tiba,
dalam suasana yang masih indah itu, Dion memberikan sebuah surat. Ku perhatikan
surat itu dengan seksama. Kulihat ujung tangannya, seperti tak ada keraguan di
hatinya untuk memberikan itu. Ku ambil pelan, dan ku tarik nafasku perlahan.
Penasaran dengan isinya, langsung saja ku baca. Mataku langsung tertuju
langsung pada kata “Dion Wardana Adiputera” dan “LULUS”. Air mataku tak sanggup
menahan perasaan yang saat ini ku rasakan. Ternyata tima minggu terakhir, Dion
berjuang untuk ikut seleksi Mandiri di salah satu perguruan tinggi di Bandung.
Dan dia berhasil masuk di jurusan Art & Design.
“What
do you think?” satu pertanyaan yang keluar dari mulutnya.
“Are
you kidding me?” aku justru berbalik tanya.
“No,
it’s real. Just for you. I love you”
“I
love yoo, too” jawabku singkat.
Hari itu adalah hari yang paling indah dari seluruh hari.
Akhirnya kami pun sama-sama berangkat ke Bandung untuk meneruskan study dan
tentunya untuk meneruskan kisah cinta kita yang sejati.
-----------------------------------end…………..
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar