Bayani Amri Putri Blog's

Bayani Amri Putri Blog's

Rabu, 09 Februari 2011

Cerpen LENTERA KEMATIAN

Lentera Kematian

Ketika sang surya memamerkan cahayanya hingga teriknya terasa sampai ubun-ubun. Inchi demi inchi langkahnya mulai melambat, kakinya mungkin sudah tak kuat lagi menopang tubuhnya. Sehelai handuk kecil yang melingkar di lehernya berkali-kali mengusap kening yang penuh keringat. Tanpa alas kaki, kakinya masih tetap setia pada aspal jalan yang menjadi pijaknya. Dahi yang sudah mulai mengkriput, rambut yang tak lagi hitam serta tubuh yang tak lagi kekar, dia masih saja berjalan, kepalanya berlenggok ke kiri dan ke kanan sambil terus menatap setiap sudut jalan, melihat dengan jelinya tong-tong yang berisikan permata hidupnya. Baunya yang busuk tak pernah menggoyahkan semangatnya untuk tetap bertahan dalam fatamorgana kehidupan karena baunya yang busuk itu lebih harum baginya ketimbang harumnya emas sekalipun. Dengan setia dia memunggut permata-permata itu, kemudian meletakkan permata itu digerobak tuanya lalu bergegas melanjutkan perjalannya.
Matahari memang belum juga berhenti menyemburkan jilatan api ke ubun-ubun lelaki tua itu. Lelaki itu mengelus-elus perutnya sembari berkata ;
“sabarlah perutku, permata ini belum juga sampai ke peraduannya. Jika nanti sudah sampai nasi warteg bu Mira pasti akan kita lahap bersama-sama” katanya pada perut yang belum terisi sebutir nasipun sejak fajar menyingsing hingga matahari terasa diubun-ubun. Perutnya sedari tadi sudah mengelar konser menyanyikan lagu perjuangan kakek tua. Sepertinya perut yang masih bernyanyi tiba-tiba terhenti dan berdemo ingin segera dibayar atas nyanyian-nyanyiannya. Lelaki tua itu sadar betul akan hal tersebut. Langkah kakinya yang tadi melambat tiba-tiba berubah. Kaki lelaki tua itu sepertinya merasa kasihan pada perut yang sedari tadi berdemo hingga dia mempercepat langkahnya, semakin cepat, cepat, hingga akhirnya sampai juga di peraduan. Tanpa menunggu lama, dia bergegas mengambil permata-permata yang sedari pagi ia kumpulan. Terlihat sekumpulan orang-orang berbaris rapi menggendong permata-permata yang mereka kumpulkan juga. Ternyata mereka semua adalah kawan senasip lelaki tua itu. Mereka antre menunggu emas yang akan ditukarkan dengan permata-permata mereka. Dengan sabar mereka rela berdesak-desakan dideretan orang-orang yang seperjuangan. Satu demi satu orang meninggalkan peraduan untuk pulang membagi emas yang didapatnya kepada anak istri mereka. Akhirnya tiba juga waktu untuk lelaki tua itu mendapat giliran. Bibirnya tersenyum lebar, matanyapun berbinar memancarkan cahayanya ketika tak sabar lagi menunggu permata-permata yang ia kumpulkan akan menjadi emas. Tiba-tiba senyumnya yang lebar kembali menyempit, matanya yang berbinar mengeluarkan butir-butir airmata ketika salah seorang penunggu peraduan mengatakan “tidak ada emas disini. Lihatlah dibelakangku, tumpukan permata sudah menjulang tinggi memenuhi peraduan. Kami tak butuh lagi permatamu. Pulanglah, dan kembalilah esok hari dan jadilah orang pertama yang terawal sampai peraduan esok hari”.
Kecewa memang, sembari mengusap kening dengan handuknya mengisyaratkan kekecewaan yang teramat dialaminya. Tetapi tentunya dia tak sendiri menanggung kekecewaan itu karena dibelakangnya masih banyak deretan orang-orang senasip dengan dengannya. “tak apalah, mungkin Sang Ketua belum mengizinkanku mendapatkan emas tersebut, lain hari mungkin adalah waktu yang diizinkan Sang Ketua untuk aku dapatkan itu” bisiknya dalam hati. Kekecewaan juga menghampiri perut dan kakinya, karena lekaki tua itu sudah berjanji pada perut yang sedari tadi berdemo untuk melahap nasi warteg bu Mira ketika sampai di peraduan dan kaki yang kecewa karena tak dapat upah dari kerjanya yang mempercepat untuk sampai di peraduan. Lelaki tua itu harus mencari seribu alas an untuk disampaikan pada perut dan kakinya sehingga mereka harus dapat bertahan sampai rumah dan jangan mogok kerja. “wahai perut dan kakiku, dapatkah engkau mengerti keadaanku kini, aku mohon bersabarlah kembali. Aku janji pada kalian sesampainya dirumah ssepiring singkong hangat akan menjadi santapanmu dan kerikil jalanan kurasa cukup untuk memijat kaki yang lelah ini” Tanya lelaki tua itu pada perut dan kakinya. Badannyapun ternyata ikut berdemo ia juga ingin meminta janji pada lelaki tua itu tentang upah apa yang diberikan setelah seharian mendorong gerobak tuanya, lelaki tua itu menjanjikan satu panci air hangat untuk memandikan tubuhnya yang lelah.
Matahari sudah berpamitan pulang dan tidak lagi menampakkan diri. Lambat laun pantulan surya mulai hinggap pada rembulan dan sekawanan bintangpun sudah mulai berjejer memamerkan sinarnya. Terangnya bulan dan kawanan bintang menjadi teman pulang lelaki tua itu. Langkahnya sudah tak secepat tadi walaupun surya sudah tiada. Perutnya kembali menggelar demo disusut-sudut lambungnya. Rembulan dan bintang masih setia menjadi kawan pulangnya mereka ikut berhenti kala lelaki tua itu berhenti untuk menghela nafas, merekapun ikut berjalan saat lelaki itu kembali melanjutkan perjalanannya. Sesaat kakinya kembali terhenti lebih lama ketibang perberhentian pertama. Kakinya terhenti tepat didepan rumah makan berdinding kaca. Lelaki tua itu duduk ditrotoar jalan sembari memandangi orang-orang berdasi yand sedang menyantap makanan lezat dibalik dinding kaca itu. Terhidang di atas meja itu makanan berkelas, berbagai macam jenis. Tidak ada di antara mereka bermuka murung, semua terlihat senang. Sesekali mereka bercakap-cakap diakhiri dengan gelak tawa terbahak-bahak . Lelaki tua itu memandangi peristiwa yang sedang ia saksikan itu. Mungkin saat itu dibenaknya sedang berimajinasi membayangkan betapa lezatnya makan yang terhidang itu. Sesekali air liurnya mengalir dari sela bibir yang menganga hingga akhirnya terjatuh pada aspal jalan yang dipijaknya. Air liur yang sedari tadi mengalir dari bibirnya hingga terjatuh di aspal ternyata menjatuhkan diri pada lengan lelaki tua itu. Lengannya terasa basah, dan lelaki tua itu baru manyadari bahwa itu adalah air liurnya bukan rintik hujan yang membanjiri aspal sampai pada lengannya. Tersadar akan hal itu lelaki itu kembali bangkit dari posisi duduknya dan kembali menyambar lengan gerobak tuanya yang dari tadi sudah melambaikan tangan agar cepat samapi rumah. Kakinya kembali melangkah meninggalkan khayalan makan direstoran mewah dengan hidangan super lezat yang terlintas dibenaknya. Tatapan matanya kembali kedepan menatap berapa kilo meter lagi jarak yang harus ditempuhnya. Tiba-tiba bola mata lelaki tua itu bergerak ke kanan, tepat di depan matanya di samping rumah makan tadi, anak-anak kurus dan dekil menghadapi sebungkus nasi di teras toko tersebut, secepat mungkin melahapnya. Makanan sisa, berlauk debu jalanan. Sekelompok orang berdasi tadi keluar, menyudahi permainannya di meja makan. Masih tersisa gurauan mereka sampai ke mobil masing-masing dan berlalu.
Matanya kembali lagi ke tatapan semula dan melanjutkan langkahnya. Di perjalanan fikirannya masih terbayang dengan hidangan tadi. “alangkah lezatnya hidangan tadi, mungkin bila aku menyantapnya perutku tak lagi berdemo, kakiku makin cepat langkahnya serta tubuhku makin bersemangat mendorong gerobak tuaku ini. Ah, apa sih, hanya mimpi bila aku dapatkan itu” mulut yang merancau kesana kemari berbicara ngalor ngidul masalah makan lezat. Aspal jalanan masih dipijaknya, rembulan dan kawanan bintangpun masih menjadi temannya.
Suara adzan tiba-tiba berkumandang, suaranya mendayu-dayu seolah seperti memanggil lelaki tua itu untuk dating padanya. Sang Ketua memanggil lelaki tua itu untuk mengahadap-Nya, menyembah pada-Nya lalu bersujud pada-Nya. Lelaki tua itu menyandarkan gerobak tuanya pada bangunan yang sama tuanya dengan gerobaknya kemudian berjalan menuju tempat wudhu. Dibasuhnya kepala sampai kaki dengan air wudhu dan sekaligus memandikan gerah tubuhnya. Lelaki tua itu menghampiri gerobaknya mengambil sarung dan peci yang dibawanya selalu. Terdengar muadzin mengumandangkan iqhomat sehingga lelaki tua itu mempercepat langkahnya menuju barisan terdepan. Mengawali ibadahnya dengan mengangkat tangannya lalu berucap “Allahhuakbar” dan menoleh ke kanan dan kekiri mengucap “Assalammualaikumwarohmatullah” dan tak terlupakan adalah menengadahkan tangannya, berdo’a memohon limpahan kasih dan karunia yang diberikan oleh-Nya. Tak lupa digenggamnya rangkaian butiran-butiran tasbih serta melantunkan kalimat-kalimat-Nya, menganggungkan-Nya. Setelah selesai melakukan ritual peribadahan, lelaki tua itu beranjak dari posisi sebelumnya dan kembali melanjutkan perjalanan pulang.
Dalam lorong-lorong gelap lelaki tua itu melangkahkan kakinya. Sesekali terdengar suara rintihan-rintihan kecil dari mulut lelaki tua itu. Dalam gelapnya malam tanpa pijar yang membawa terang dia masih tterus berjalan walau matanya sedikit buram. Dari kejauhan terlihat pijar yang berjalan mendekati dirinya. Matanya menyipit melihat pijar yang begitu terangnya. Jaraknya semakin dekat hingga yang terlihat adalah seorang gadis kecil yang anggun berbaju serba putih dengan mata yang bulat memancarkan binarnya serta bibir manis yang tersenyum melebar membawa sebuah lentera tua. Gadis kecil itu mengulurkan tangannya memberikan lenteranya pada lelaki tua itu, lelaki tua itu langsung menerimanya dan tiba-tiba lentera tua yang kusam berubah menjadi lentera yang memamerkan pijar yang begitu terang dengan dihiasi ratusan butir intan berlian yang menempel. Sungguh suatu keajaiban saat itu. Lelaki tua itu terkejut dibuatnya hingga dia melemparkan lentera indah tua ke tanah. Gadis itu tersenyum, sedangkan lelaki tua itu kebingungan tetapi lentera itu tidak terjatuh, lenteranya bangkit sendir dan bergerak menuju dirinya. “ini adalah lentera keajaiban, bila lentera ini berubah menjadi indah maka yang mememgangnya berhak mendapatkan lentera ini. Butiran intan berlian didalamnya tidak akan habih walaupun sudah kau ambil untuk memenuhi hidupmu” kata si gadis kecil itu. “apakah lentera ini untuku” jawab lelaki tua dengan nada sedikit gugup. “ya, terimalah ini wahai kakekku” jawabnya tersenyum lebar. Tanpa sabar lelaki tua itu langgsung membawanya pulang dan meninggalkan gadis kecil itu. Langkahnya semakin cepat karena ingin memperlihatkan apa yang dibawanya pada anak dan istrinya. Tiba pada langkah yang kesepuluh, dia berbalik menuju gadis kecil itu. Dilihatnya gadis kecil itu tterllihat menangis, air matanya yang jatuh berubah menjadi butiran-butiran batu kerikil. Dia berjalan mundur dengan isakan tangis, dalam sekali langkah gadis itu menghilang entah kemana. “siapa sebenarnya gadis itu?” Tanya lelaki tua dalam hati. Lentera yang sedari tapi memamerkan pijarnya tiba-tiba meredup, butiran-butiran intan berlian dalam sekejab berubah menjadi butiran-butiran batu kerikil. Matanya buram tiba-tiba merasakan adanya pijar yang lebih terang dari sebelumnya mendekati dirinya kembali, gerakannya beitu cepat. Matanya semakin menyipit dan akhirnya “brakkkkkkkkkk” lelaki tua itu tertabarak oleh mobil dengan kecepatan tinggi. Badannya terlontar entah kemana, gerobak tuanya hancur tergilas mobil. Cairan merah kental deras membasahi tubuhnya. Dengan sisa tenaga ia coba berlari menghindari ganasnya iblis-iblis itu. Angin berhembus deras. Petir mencambuk bersahutan. Butiran-butiran bening mulai turun dari langit. Entah kemana ia berlari, nafasnya tersengal-sengal. Tangan kanannya mencoba membendung keluarnya darah, bajunya yang lusuh mulai rata memerah. Kakinya tidak kuat lagi lalu jatuh terlentang diterpa hujan yang mulai ramai titik-titiknya.Tubuhnya lemah, begitu banyak darah keluar dari perutnya. Dengan nafas terputus- putus, mulutnya yang basah oleh hujan berbisik lirih...“Tuhan, ampuni aku!”. Lelaki tua itu telah pergi meninggalkan alam yang sedang memainkan manusia. Langit benar-benar menumpahkan airnya ke bumi. Angin menyapu manusia lepas dari pijaknya. Pohon-pohon tumbang, rumah-rumah roboh, gedung-gedung runtuh.Hanya badai yang Ia hembuskan ke bumi.
Ada apa sebenarnya, lantas, kemana gadis kecil itu, keajaiban, dan lentera indah itu?, ternyata sedari tadi lelaki tua itu hanya bermimpi. Siapa dia sebenarnya?
Lelaki tua itu adalah pak Mardi. Dia adalah seorang pekerja keras dengan hidup yang pas-pasan. Pekerjaanya adalah sebagai pemulung, yang berjalan kiloan meter guna menghidupi anak dan istrinya. Tetapi ketika lalai maka maut dating menjemputnya.
“kematian adalah sebuah rahasia Tuhan yang telah tertulis pada catatan-Nya sebelum kita lahir. Kematian bukanlah hal yang ditakuti, tetapi kematian adalah sesuatu yang dirindukan; ialah ruang lapang yang menghanyutkan jalan kerinduan yang sekian lama ditempuh. Rindu pada Tuhan yang melepaskan kita dibumi sakian lama dan akhirnya kembali pula pada-Nya yang menciptakan.”
-o0o-
Karya : Bayani Amri Putri XI IPS 1






Catatan Kematian
Karya : Bayani Amri Putri XI IPS 1

Kelap-kelip lampu diskotik
Mengurai problema dibalik gemerlap malam
Rasa sesak menghimpit tulang belakangku
Saat kegelapan memenuhi diriku

Aku berenang mengarungi lautan malam
Menantang malam dalam gemerlap kehidupan
Mencari makna dalam lorong-lorong hitam
Gumpalan awan membawa kecantikan baru pada setiap detik yang menderu

Saat galau mengancam setiap detikku
Malaikat cinta selalu memeluk dan mendekap tubuhku di dinginnya malam
Sakau…
Sakau…
Saat sakau menghujam diseluruh bagian tubuhku
Membawaku tidur di ketinggian atsmosfir mimpi
Aku bergulat dalam kegelapan malam
Ku belah gelapnya malam dengan pedang kenistaan

Ribuan detik waktuku habis tuk mencari kenikmatan semu
Yang telah memperdayaku dengan tipu belaka
Aku sendiri
Sendiri berjalan ditepi jalan berkerikil tajam

Dilorong-lorong gelap,
Aku mencari dimana pijar yang akan menjadi jalan pulangku
Satapak demi setapak jalan kujejaki
Kurasakan langit menghitamkan surya tanpa tawa

Dimana lagi harus kucari kedamaian hati
Dimana senja?
Dimana jingga?
Semua menjadi satu warna menaklukan kesombonganku

Malam…
Aku terpenjara
Terpenjara dalam kegelapan malammu
Suara zikir dari masjid tua, terdengar sayup-sayup memandikan gerah tubuh kerdilku dibatasan senja
Tuhan
Keluarkanlah akku daripenjara kegelapan ini
Ku ingin cari malam ketika cinta ditulis dengan bahasa keindahan
Dan kuingin menyongsong hari esok dengan lonceng kebahagiaan

Tapi apa dayaku
Lonceng kematian telah lebih dulu memanggilku
Tuhan
Sesalku tiada bertepi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar